Hilang
“It had
never occurred to me that our lives, which had been so closely interwoven,
could unravel with such speed. If I’d known, maybe I’d kept tighter hold of
them and not let unseen tides pull us apart.”
Never Let
Me Go (2010)
Hai. Sudah
lama sekali saya tidak menulis di sini. Banyak hal yang harusnya bisa saya
tulis namun akhirnya saya hanya bisa menyalahkan waktu dan urgensi hal lain
yang lebih utama. Oh ya, pernah tidak merasa kesal ketika sedang sangat ingin
menulis tetapi yang kamu lakukan hanyalah mengetik dan menghapus tulisanmu? I’ve
been there a lot. Tulisannya gak pernah jadi.
Peringatan:
1. Jika kamu adalah orang yang tidak
suka tulisan dengan gaya bahasa campur aduk (sudah saya katakan), sebaiknya
berhentilah membaca. Sekarang.
2. Jika kamu adalah orang yang tidak
suka membuang waktu percuma, sebaiknya berhentilah membaca. Sekarang.
3. Jika orang yang saya bicarakan
nanti adalah kamu, teruslah membaca.
Terimakasih atas kepercayaan dirimu. Mari kita lihat nanti.
Ide untuk
menulis muncul ketika tadi pagi saya terbangun dari mimpi. Mimpi tentang
seseorang yang mengingatkan saya pada satu rasa: kehilangan. Rasanya seperti
kehilangan beberapa bagian yang menjadikan diri saya menjadi “saya”. Ini terjadi
di akhir tahun 2015 lalu, ketika saya akhirnya dicalonkan untuk meneruskan kepengurusan
himpunan.
Tahun 2015 saya diamanahi menjadi
sekretaris umum di GEMASI (Gelanggang Mahasiswa Sastra Inggris); himpunan
sastra Inggris di tempat saya berkuliah. Di akhir kepengurusan, saya diajak
ngobrol oleh ketua dengan tujuan agar saya mau menjadi calon ketua kepengurusan
berikutnya. Mengenai pemilihan calon
ketua, himpunan saya menggunakan cara:
1. Menebarkan survei kepada Gemasian
(sebutan mahasiswa aktif GEMASI) tentang orang yang mereka pilih sebagai calon
ketua;
2. Meminta persetujuan 10 besar
calon ketua terpilih untuk maju ke tahap berikutnya;
3. Orasi para calon ketua yang
bersedia;
4. Voting calon ketua
Oleh karena
ada tahap nomor 2, ketua saya bersama teman-teman pengurus angkatan 2012 lainnya
membujuk saya agar mau menjadi calon ketua.
Tahap survei
selesai, dan terpilihlah 3 calon ketua yang terdengar diharapkan oleh seluruh
angkatan. Tiga calon itu adalah saya, Deden Kurnia Syam dan Rian Fauzan. Saya
dipilih karena mungkin ikut kepengurusan yang lalu dan dinilai cukup tahu
bagaimana organisasi GEMASI ini berjalan. Deden dipilih karena he’s everybody’s
love heart. Deden dikenal mengetuai segala peracaraan di lingkungan kampus, bisa
masuk ke dalam lingkungan manapun dan punya IPK paling tinggi seangkatan. Yang
terakhir Rian, sama seperti Deden, sepertinya tidak ada yang tidak suka
padanya. Well, ini cerita tentang Rian. Sayangnya, bukan kamu. Mau berhenti
membaca sudah kepalang penasaran, bukan?
Oke saya
lanjutkan.
Sore itu di
sekretariat Gemasi, panitia pemilihan umum rapat mengenai calon ketua. Saya
sampai pada waktu itu belum bisa memutuskan akan maju sebagai calon atau tidak.
Sialnya, saya nimbrung rapat dan mau tidak mau mendengar bujuk rayu semua
panitia. Deden pun ada disitu. Oh, saya lupa. Deden adalah ketua panitia
pemilihan umum Gemasi. Cerdik memang. Mana bisa ketua panitia maju sebagai
calon ketua Gemasi? Deden secara tidak langsung tidak akan maju sebagai calon
ketua karena tugasnya. Tersisa saya dan Rian.
Saya
sengaja keluar ruangan sekretariat karena tidak mau mendengar apa yang mereka
rencakan. Saya chat Rian dan
menanyakan keberadaannya. Saya bilang ingin ngobrol. Dia meng-iya-kan untuk
segara datang ke sekretariat. Dia pun meminta nomor handphone saya, “Kali aja
butuh,” begitu alasannya.
Rapat
selesai. Sudah hampir maghrib. Beberapa orang di antara kami mengeluhkan lapar,
termasuk saya. Kami memutuskan untuk pergi makan ke Mekdi di daerah Cibiru,
Bandung. Saya mencium bau-bau konspirasi beberapa panitia yang masih berusaha
membujuk saya dan Rian. Kami yang berangkat dari Nangor akan bertemu Rian di
sana karena Rian sedang berada di rumah temannya di Bandung.
Sehabis
shalat maghrib akhirnya kami sampai di Mekdi Cibiru. Disana ada saya dan
beberapa panitia pemilihan umum, teman-teman saya, termasuk Deden dan ketua
kepengurusan yang lalu, Nia. Kami memesan makanan sambil menunggu Rian. Rian
datang dan langsung duduk di samping saya. Kursi di samping saya memang
dibiarkan kosong karena ya untuk Rian duduk. Bau konspirasi.
Beberapa
hari yang lalu, setelah hasil survei keluar, Rian memang bilang ingin ngobrol
dengan saya. Nia penasaran soal apa yang akan Rian bicarakan. Nia, sialnya,
duduk berhadapan dengan saya yang secara otomatis jika hal tersebut saya
bicarakan saat itu, Nia akan tahu. Orang-orang di sekeliling meja kami bilang, “Sok
(ayo), rundingin aja dulu.” Saya dan Rian berunding. Berunding di depan mereka.
Dengan suara yang kecilpun masih bisa terdengar. Mekdi penuh, tidak ada tempat
di sekeliling kami yang kosong. Perfect.
Perasaan
saya kala itu masih ragu. Saya masih kurang percaya diri jika nanti maju
sebagai ketua. Memimpin sendiri. Saya tanyakan pilihan kepada panitia pemilihan
umum, “Kalau seandainya aku ketua dan mau ada wakil boleh gak?” dan jawaban
yang saya terima membuat saya sedikit lega. Oke, saya tawarkan kepada Rian, “Cong
(panggilan Rian oleh teman-teman), kalau kamu jadi wakilku gimana?” Rian
menatap saya. Ia masih ragu karena tidak punya basic apapun tentang GEMASI akunya.
“Tapi emang
kamu gak apa-apa kalau aku jadi wakilmu?,” tanyanya sangat rendah hati. Saya
meng-iya-kan dan kami pun bersalaman tanda kami setuju untuk maju. Semua
berteriak, “YEAY!”
10 P.M : Malam
itu, Rian membawa motor temannya. Ia bilang akan mengembalikan motor itu dahulu
kemudian pulang. Rumahnya di Bandung. Sebelum pulang, ia bersalaman dengan
Deden dan berkata, “Aing udah bikin maraneh seneng kan.” Deden senyum dan
bilang, “Hati-hati ya Cong, jangan ngebut.”
10.30 P.M :
Saya sudah di kosan. Sudah kenyang, saya tidur dan menatap langit-langit kamar
mengingat keputusan besar yang saya ambil. Handphone saya mati sementara badan
saya sangat malas untuk berpindah lagi. Saya ketiduran, tidak ada firasat
apapun.
06.30 A.M :
Ya, saya terlambat shalat subuh. Tunggu, saya mendengar suara ketukan pintu.
Perlahan-lahan saya coba membuka mata. Berat sekali. Sebelum bangun, saya
mencoba berpikir suara siapa itu. Oh Deden. Suaranya khas, sangat berat. “Pus,
Pus”. Pikiran saya jahat, saya ingat bahwa hari itu saya sudah bilang bahwa
saya, Rian, dan Deden akan membuat program kerja untuk keperluan orasi. Saya
pikir untuk mengabaikan saja dan berpura-pura masih tidur. Ternyata, Deden
tidak mau menyerah. Akhirnya saya terbangun dan membuka pintu. Kami berada di
ambang pintu.
Mata saya belum dapat secara jelas melihat. “Pus,”
“Acong udah gak ada.”
“Maksudnya?”
“Iya, Acong udah gak ada”
Saya sudah bisa melihat, mata Deden
merah.
“Apaan sih Den?”
“Acong meninggal.”
“Gak usah bercanda deh.”
“Iya, Pus.”
Badan saya
runtuh, jatuh. Saya menangis sejadi-jadinya dan berteriak, masih tidak percaya.
Deden memeluk saya, “Ayo kita ke Bandung”. Tanpa bersiap-siap, saya membawa hal
seadanya, dan berangkat. Di sana, saya lihat dia. Terbaring kaku dan dingin.
Melayang ingatan saya pada malam yang lalu. Saya masih menjabat tangannya dan
tersenyum.
Rian
kecelakaan setelah pulang dari Mekdi. Dia masih bisa menelpon teman yang
memiliki motor yang ia kendarai. Ya, kawasan Cibiru memang sangat gelap pada
malam hari. Ada saja pengendara yang sembrono menyebrang ke arah jalan yang
lain. Dan Rian menjadi korban pengendara itu. Rian mencoba menghindari
pengendara itu, dan dia terjatuh. Sayangnya, ada motor lain dari belakang yang
menabrak punggungnya.
Rian masih
bisa dibawa oleh temannya ke rumah sakit terdekat. Ia masih sadar dan menolak
temannya kala menghubungi keluarganya agar datang, “Udah aing gak apa-apa.”
Tetapi sekitar pukul 12 malam keluarganya datang. Rian tidak sakit dari luar.
Dari tubuh yang kelihatan oleh mata, ia tidak apa-apa. Namun, pukul 4 pagi ia
menghembuskan napas terakhirnya.
Tulisan ini
bukan wujud ketidakikhlasan, namun saya masih menyesal tidak dekat dengannya
sejak dulu. Pribadi yang sangat baik kepada semua orang, tidak pernah marah
jika diledek, dan setia. Tidak usah saya ceritakan bagaimana kesetiannya. Baru
saja saya berpikir dia akan berkembang bersama saya, ternyata Tuhan iri ingin
lebih dekat dengannya.
Jangan
bosan. Ada satu lagi cerita tentang kehilangan. Kehilangan diri saya yang dulunya
percaya.
Bukan
kecelakaan ini saja yang membuat saya merasa kehilangan. Ada satu lagi kejadian
kecelakaan yang membuat saya sekarang berpikir ulang, “Apakah saya sedekat itu
dengannya?” Kejadian ini sama, di akhir tahun 2015 pula. Ada teman saya yang
mengalami kecelakaan yang mengakibatkan dirinya kehilangan ingatan untuk waktu
yang sementara.
Saya
berniat menjenguknya di rumah sakit. Sudah banyak yang cerita kalau dirinya
tidak diingat. Saya masuk dan ternyata saya termasuk ke dalam orang yang tidak
dia ingat. Dia menjadi orang yang sangat berbeda dari orang yang kenal dekat
dengan saya. Seperti baru kembali mengenalnya, saya merasa ada yang hilang.
Baru saja saya melihatnya kembali setelah rutinitas kampus yang tidak ada
habisnya, saya bertemunya dalam kondisi dia yang menjelma seperti orang asing.
Tidak
masalah bagi saya untuk tidak diingat. Banyak yang akan mendoakannya agar bisa
sembuh dan kembali beraktivitas, ingatan tentang saya mungkin akan kalah dengan
yang lain sehingga hal ini yang bermasalah bagi saya sekarang. Sampai saat ini,
saya masih belum bisa membuang pikiran bahwa dia adalah orang yang berbeda. Bukan, bukan salah dia. Ini salah saya yang
terlanjur percaya diri bahwa saya memang sudah sedekat itu dengannya; bahwa
saya salah. Sudah berusaha memulihkan pikiran saya, namun segala makhluk dan
kejadian dunia terasa meng-iya-kan. Berlebihan.
Kehilangan
bukan hal yang baru bagi saya. Saya sudah merasakan hal itu sejak saya merasa
sangat dekat dengan seseorang di masa lalu, bahkan secara fisik. Kami sering
bertemu dulu. Saya lumayan sering approach
dengan bilang kangen secara personal, upload
foto masa lalu dan segala macamnya. Namun, masanya sudah beda. Saya sudah dalam
tahap mengganggap bahwa “kangen” itu klise dan tidak berarti apa-apa. Saya
sudah terbiasa dengan kehilangan dan berusaha meraih kembali kedekatan itu namun
berkali-kali jatuh dan menyesal. Menyesal karena, hipotesa yang saya buat,
bahwa saya tidak sedekat itu dengan mereka, kembali terbukti.
Saya tidak
berani lagi menampakkan diri, tidak mau percaya diri lagi. Apa yang bisa saya
lakukan kecuali bermimpi, untuk dekat kembali. Sudahi.