catch the rawr hint!

Saturday, March 5, 2016

Hilang

“It had never occurred to me that our lives, which had been so closely interwoven, could unravel with such speed. If I’d known, maybe I’d kept tighter hold of them and not let unseen tides pull us apart.”
Never Let Me Go (2010)

Hai. Sudah lama sekali saya tidak menulis di sini. Banyak hal yang harusnya bisa saya tulis namun akhirnya saya hanya bisa menyalahkan waktu dan urgensi hal lain yang lebih utama. Oh ya, pernah tidak merasa kesal ketika sedang sangat ingin menulis tetapi yang kamu lakukan hanyalah mengetik dan menghapus tulisanmu? I’ve been there a lot. Tulisannya gak pernah jadi.
Peringatan:
1. Jika kamu adalah orang yang tidak suka tulisan dengan gaya bahasa campur aduk (sudah saya katakan), sebaiknya berhentilah membaca. Sekarang.
2. Jika kamu adalah orang yang tidak suka membuang waktu percuma, sebaiknya berhentilah membaca. Sekarang.
3. Jika orang yang saya bicarakan nanti adalah kamu, teruslah membaca.

Terimakasih atas kepercayaan dirimu. Mari kita lihat nanti.

Ide untuk menulis muncul ketika tadi pagi saya terbangun dari mimpi. Mimpi tentang seseorang yang mengingatkan saya pada satu rasa: kehilangan. Rasanya seperti kehilangan beberapa bagian yang menjadikan diri saya menjadi “saya”. Ini terjadi di akhir tahun 2015 lalu, ketika saya akhirnya dicalonkan untuk meneruskan kepengurusan himpunan.

Tahun 2015 saya diamanahi menjadi sekretaris umum di GEMASI (Gelanggang Mahasiswa Sastra Inggris); himpunan sastra Inggris di tempat saya berkuliah. Di akhir kepengurusan, saya diajak ngobrol oleh ketua dengan tujuan agar saya mau menjadi calon ketua kepengurusan berikutnya.  Mengenai pemilihan calon ketua, himpunan saya menggunakan cara:
1. Menebarkan survei kepada Gemasian (sebutan mahasiswa aktif GEMASI) tentang orang yang mereka pilih sebagai calon ketua;
2. Meminta persetujuan 10 besar calon ketua terpilih untuk maju ke tahap berikutnya;
3. Orasi para calon ketua yang bersedia;
4. Voting calon ketua
Oleh karena ada tahap nomor 2, ketua saya bersama teman-teman pengurus angkatan 2012 lainnya membujuk saya agar mau menjadi calon ketua.

Tahap survei selesai, dan terpilihlah 3 calon ketua yang terdengar diharapkan oleh seluruh angkatan. Tiga calon itu adalah saya, Deden Kurnia Syam dan Rian Fauzan. Saya dipilih karena mungkin ikut kepengurusan yang lalu dan dinilai cukup tahu bagaimana organisasi GEMASI ini berjalan. Deden dipilih karena he’s everybody’s love heart. Deden dikenal mengetuai segala peracaraan di lingkungan kampus, bisa masuk ke dalam lingkungan manapun dan punya IPK paling tinggi seangkatan. Yang terakhir Rian, sama seperti Deden, sepertinya tidak ada yang tidak suka padanya. Well, ini cerita tentang Rian. Sayangnya, bukan kamu. Mau berhenti membaca sudah kepalang penasaran, bukan?

Oke saya lanjutkan.

Sore itu di sekretariat Gemasi, panitia pemilihan umum rapat mengenai calon ketua. Saya sampai pada waktu itu belum bisa memutuskan akan maju sebagai calon atau tidak. Sialnya, saya nimbrung rapat dan mau tidak mau mendengar bujuk rayu semua panitia. Deden pun ada disitu. Oh, saya lupa. Deden adalah ketua panitia pemilihan umum Gemasi. Cerdik memang. Mana bisa ketua panitia maju sebagai calon ketua Gemasi? Deden secara tidak langsung tidak akan maju sebagai calon ketua karena tugasnya. Tersisa saya dan Rian.

Saya sengaja keluar ruangan sekretariat karena tidak mau mendengar apa yang mereka rencakan. Saya chat Rian dan menanyakan keberadaannya. Saya bilang ingin ngobrol. Dia meng-iya-kan untuk segara datang ke sekretariat. Dia pun meminta nomor handphone saya, “Kali aja butuh,” begitu alasannya.

Rapat selesai. Sudah hampir maghrib. Beberapa orang di antara kami mengeluhkan lapar, termasuk saya. Kami memutuskan untuk pergi makan ke Mekdi di daerah Cibiru, Bandung. Saya mencium bau-bau konspirasi beberapa panitia yang masih berusaha membujuk saya dan Rian. Kami yang berangkat dari Nangor akan bertemu Rian di sana karena Rian sedang berada di rumah temannya di Bandung.

Sehabis shalat maghrib akhirnya kami sampai di Mekdi Cibiru. Disana ada saya dan beberapa panitia pemilihan umum, teman-teman saya, termasuk Deden dan ketua kepengurusan yang lalu, Nia. Kami memesan makanan sambil menunggu Rian. Rian datang dan langsung duduk di samping saya. Kursi di samping saya memang dibiarkan kosong karena ya untuk Rian duduk. Bau konspirasi.

Beberapa hari yang lalu, setelah hasil survei keluar, Rian memang bilang ingin ngobrol dengan saya. Nia penasaran soal apa yang akan Rian bicarakan. Nia, sialnya, duduk berhadapan dengan saya yang secara otomatis jika hal tersebut saya bicarakan saat itu, Nia akan tahu. Orang-orang di sekeliling meja kami bilang, “Sok (ayo), rundingin aja dulu.” Saya dan Rian berunding. Berunding di depan mereka. Dengan suara yang kecilpun masih bisa terdengar. Mekdi penuh, tidak ada tempat di sekeliling kami yang kosong. Perfect.

Perasaan saya kala itu masih ragu. Saya masih kurang percaya diri jika nanti maju sebagai ketua. Memimpin sendiri. Saya tanyakan pilihan kepada panitia pemilihan umum, “Kalau seandainya aku ketua dan mau ada wakil boleh gak?” dan jawaban yang saya terima membuat saya sedikit lega. Oke, saya tawarkan kepada Rian, “Cong (panggilan Rian oleh teman-teman), kalau kamu jadi wakilku gimana?” Rian menatap saya. Ia masih ragu karena tidak punya basic apapun tentang GEMASI akunya.

“Tapi emang kamu gak apa-apa kalau aku jadi wakilmu?,” tanyanya sangat rendah hati. Saya meng-iya-kan dan kami pun bersalaman tanda kami setuju untuk maju. Semua berteriak, “YEAY!”

10 P.M : Malam itu, Rian membawa motor temannya. Ia bilang akan mengembalikan motor itu dahulu kemudian pulang. Rumahnya di Bandung. Sebelum pulang, ia bersalaman dengan Deden dan berkata, “Aing udah bikin maraneh seneng kan.” Deden senyum dan bilang, “Hati-hati ya Cong, jangan ngebut.”

10.30 P.M : Saya sudah di kosan. Sudah kenyang, saya tidur dan menatap langit-langit kamar mengingat keputusan besar yang saya ambil. Handphone saya mati sementara badan saya sangat malas untuk berpindah lagi. Saya ketiduran, tidak ada firasat apapun.

06.30 A.M : Ya, saya terlambat shalat subuh. Tunggu, saya mendengar suara ketukan pintu. Perlahan-lahan saya coba membuka mata. Berat sekali. Sebelum bangun, saya mencoba berpikir suara siapa itu. Oh Deden. Suaranya khas, sangat berat. “Pus, Pus”. Pikiran saya jahat, saya ingat bahwa hari itu saya sudah bilang bahwa saya, Rian, dan Deden akan membuat program kerja untuk keperluan orasi. Saya pikir untuk mengabaikan saja dan berpura-pura masih tidur. Ternyata, Deden tidak mau menyerah. Akhirnya saya terbangun dan membuka pintu. Kami berada di ambang pintu.  
Mata saya belum dapat secara jelas melihat. “Pus,”
“Acong udah gak ada.”
“Maksudnya?”
“Iya, Acong udah gak ada”
Saya sudah bisa melihat, mata Deden merah.
“Apaan sih Den?”
“Acong meninggal.”
“Gak usah bercanda deh.”
“Iya, Pus.”

Badan saya runtuh, jatuh. Saya menangis sejadi-jadinya dan berteriak, masih tidak percaya. Deden memeluk saya, “Ayo kita ke Bandung”. Tanpa bersiap-siap, saya membawa hal seadanya, dan berangkat. Di sana, saya lihat dia. Terbaring kaku dan dingin. Melayang ingatan saya pada malam yang lalu. Saya masih menjabat tangannya dan tersenyum.

Rian kecelakaan setelah pulang dari Mekdi. Dia masih bisa menelpon teman yang memiliki motor yang ia kendarai. Ya, kawasan Cibiru memang sangat gelap pada malam hari. Ada saja pengendara yang sembrono menyebrang ke arah jalan yang lain. Dan Rian menjadi korban pengendara itu. Rian mencoba menghindari pengendara itu, dan dia terjatuh. Sayangnya, ada motor lain dari belakang yang menabrak punggungnya.

Rian masih bisa dibawa oleh temannya ke rumah sakit terdekat. Ia masih sadar dan menolak temannya kala menghubungi keluarganya agar datang, “Udah aing gak apa-apa.” Tetapi sekitar pukul 12 malam keluarganya datang. Rian tidak sakit dari luar. Dari tubuh yang kelihatan oleh mata, ia tidak apa-apa. Namun, pukul 4 pagi ia menghembuskan napas terakhirnya.

Tulisan ini bukan wujud ketidakikhlasan, namun saya masih menyesal tidak dekat dengannya sejak dulu. Pribadi yang sangat baik kepada semua orang, tidak pernah marah jika diledek, dan setia. Tidak usah saya ceritakan bagaimana kesetiannya. Baru saja saya berpikir dia akan berkembang bersama saya, ternyata Tuhan iri ingin lebih dekat dengannya.

Jangan bosan. Ada satu lagi cerita tentang kehilangan. Kehilangan diri saya yang dulunya percaya.

Bukan kecelakaan ini saja yang membuat saya merasa kehilangan. Ada satu lagi kejadian kecelakaan yang membuat saya sekarang berpikir ulang, “Apakah saya sedekat itu dengannya?” Kejadian ini sama, di akhir tahun 2015 pula. Ada teman saya yang mengalami kecelakaan yang mengakibatkan dirinya kehilangan ingatan untuk waktu yang sementara.

Saya berniat menjenguknya di rumah sakit. Sudah banyak yang cerita kalau dirinya tidak diingat. Saya masuk dan ternyata saya termasuk ke dalam orang yang tidak dia ingat. Dia menjadi orang yang sangat berbeda dari orang yang kenal dekat dengan saya. Seperti baru kembali mengenalnya, saya merasa ada yang hilang. Baru saja saya melihatnya kembali setelah rutinitas kampus yang tidak ada habisnya, saya bertemunya dalam kondisi dia yang menjelma seperti orang asing.

Tidak masalah bagi saya untuk tidak diingat. Banyak yang akan mendoakannya agar bisa sembuh dan kembali beraktivitas, ingatan tentang saya mungkin akan kalah dengan yang lain sehingga hal ini yang bermasalah bagi saya sekarang. Sampai saat ini, saya masih belum bisa membuang pikiran bahwa dia adalah orang yang berbeda.  Bukan, bukan salah dia. Ini salah saya yang terlanjur percaya diri bahwa saya memang sudah sedekat itu dengannya; bahwa saya salah. Sudah berusaha memulihkan pikiran saya, namun segala makhluk dan kejadian dunia terasa meng-iya-kan. Berlebihan.

Kehilangan bukan hal yang baru bagi saya. Saya sudah merasakan hal itu sejak saya merasa sangat dekat dengan seseorang di masa lalu, bahkan secara fisik. Kami sering bertemu dulu. Saya lumayan sering approach dengan bilang kangen secara personal, upload foto masa lalu dan segala macamnya. Namun, masanya sudah beda. Saya sudah dalam tahap mengganggap bahwa “kangen” itu klise dan tidak berarti apa-apa. Saya sudah terbiasa dengan kehilangan dan berusaha meraih kembali kedekatan itu namun berkali-kali jatuh dan menyesal. Menyesal karena, hipotesa yang saya buat, bahwa saya tidak sedekat itu dengan mereka, kembali terbukti.

Saya tidak berani lagi menampakkan diri, tidak mau percaya diri lagi. Apa yang bisa saya lakukan kecuali bermimpi, untuk dekat kembali. Sudahi. 

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Powered by Blogger.