"Mana Papermu?"
Siang ini, saya baru saja pulang dari tempat
saya mencari kelanjutan ilmu. Pulang ke rumah yang baru tiga hari keluarga saya
tempati. Kira-kira sama besar dengan rumah yang lama. Saya tiba di rumah,
berbungkus baju hijau dengan totol-totol air hujan. Untung saja, Papa rela menjemput
di shelter bis yang berada di perumahan kami. Kini, saya duduk
beralaskan lantai putih, bersandar pada tembok berwarna biru langit, dan
dihadapkan pada komputer jinjing yang ditaruh di meja kecil cokelat kayu. Mata saya
tertuju pada satu layar. Disana tertera "Mana Papermu?"
Paper merupakan bukti dari ilmu yang telah kita dapat
selama kurun waktu tertentu. Biasanya terdiri dari 6 halaman dengan tema sesuai
bidang ilmu masing-masing. Bidang ilmu yang saya ambil adalah sastra Inggris. Satu-satunya
mata kuliah yang mengharuskan saya untuk membuat paper adalah mata kuliah Introduction to Prose.
Mata kuliah ini, menurut saya, adalah yang
paling membukakan mata terhadap bidang ilmu dalam pengutamaan sastra. Dahulu,
saya hanya tahu cerita-cerita yang sudah pasti endingnya; antara sedih atau senang. Setelah kurang lebih lima
bulan belajar, saya banyak menemukan cerita karya pujangga-pujangga dunia yang
tidak mempunyai akhir, tidak beresolusi, bahkan dalam keadaan yang tidak sedih
ataupun senang. Banyak cerita yang tidak hanya berkutat soal cinta, tetapi luas
cakupannya, mulai dari cerita anak kecil umur 8 tahun yang terpaksa membantu
ayahnya menolong kelahiran seorang wanita di perkemahan Indian, hingga cerita dua
dosen sastra Inggris yang bertukar tempat kerja dan juga berselingkuh dengan
istri masing-masing. Mata kuliah ini membuat saya harus masuk ke dalam
cerita-cerita hebat karya pujangga-pujangga ternama, dan terkadang mengabaikan
cerita yang harusnya saya ukir sendiri.
Bukan hanya soal mata kuliah-nya saja yang
menarik, tetapi juga pengajarnya. Bukan hanya pengajar tetapi juga pendidik. Bisa
dibilang, 75% yang beliau katakan di kelas bukan tentang bagaimana mata kuliah Prose dapat langsung diterapkan oleh
mahasiswa-nya. Penyampaian materi yang beliau berikan, yang saya tangkap, lebih
banyak yang yang tersalurkan secara tersirat. Mengenai tugas, contohnya. Waktu
itu, kami diberi deadline sekitar 7
jam untuk membandingkan 3 cerita karya David Lodge, Conan Doyle, dan Mary
Rowlandson. Kami harus memaparkan perspektif narator masing-masing cerita dan
membandingkannya tanpa beliau beritahu bagaimana caranya. Menurut beliau,
kriteria mahasiswa yang cerdas adalah yang bisa bertanya bukan bisa menjawab.
Bisa ditebak, tidak ada satupun dari kami yang berani bertanya.
Kembali ke paper.
Salah satu contoh paper dari mahasiswa satu tingkat di atas saya yang bernama
Rizky mengangkat tema ironi dan sarkasme. Saya memintanya untuk mengirimkan final paper tersebut sebagai bahan saya
untuk melihat bagaimana sih mulainya.
Saya terkejut melihat bagian akhir paper
miliknya. Di bagian akhir, dia menghubungkannya dengan sejarah revolusi Inggris
dan Amerika. Kalau dipikir-pikir, saya terlalu muluk melihat contoh yang
seperti ini.
Sampai detik ini, detik saya mengetik kata demi kata di layar
komputer jinjing ini, saya belum mau beranjak mengerjakan paper yang deadline-nya
minggu kedua bulan Januari. Entahlah, saya yang masih ingin menikmati rumah
baru atau udara sejuk khas musim hujan yang selalu bisa membuai saya untuk
menunda pekerjaan. Kenyataannya, jika saya memang berniat mengerjakannya, bisa
saja sekitar satu jam yang lalu paper
saya sudah menginjak kata ke-500 sama seperti post ini, yang kemudian saya jadikan alasan untuk menunda pembuatan
paper tersebut. Niat saya mengakhiri post ini juga bukan berarti awal saya
mengerjakan paper, tetapi awal saya
memikirkan hal apa lagi yang bisa menunda paper
sampai pada akhirnya saya benar-benar berniat mengerjakannya.
0 comments:
Post a Comment